안녕하세요 ( Annyeong haseyo )


Ahlan Wa Sahlan

Ahlan Wa Sahlan,안녕하세요 ( Annyeong haseyo ), Welcome to my Blog. Semoga bisa bermanfaat buat kita semua. Kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat kami harapkan. Syukron. Barakaalluhu Fiikum

Jumat, 23 Maret 2012

Nasehat Salafush Shalih untuk Kaum Muslimin


بسم الله الرحمن الرحيم
Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Baginda Rasulullah shollallahu’alai wasallam, beserta keluarganya, para sahabat dan orang – orang yang selalu mengikuti sunnahnya hingga hari akhir nantinya.

Amma ba’du, para pembaca yang kami hormati.
Dalam kesempatan ini kami ingin memaparkan sedikit “Nasehat Salafush Shalih untuk Kaum Muslimin”. Salafush Shalih adalah generasi terbaik ummat ini, oleh karena itu sudah sepatutnyalah kita kaum muslimin mengambil pelajaran dari mereka. Sesungguhnya Allah ridha terhadap mereka, dan mereka pun ridha terhadap Allah Ta’ala. Nasihat Salafush Shalih untuk kaum muslimin disadur dari kitab Aadaabu Thaalibil 'Ilmi hal.18-22. Selamat Membaca dan semoga bermanfaat. Amiin

(1) Dari 'Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu, beliau berkata: "Ilmu itu lebih baik daripada harta, ilmu akan menjagamu sedangkan kamulah yang akan menjaga harta. Ilmu itu hakim (yang memutuskan berbagai perkara) sedangkan harta adalah yang dihakimi. Telah mati para penyimpan harta dan tersisalah para pemilik ilmu, walaupun diri-diri mereka telah tiada akan tetapi pribadi-pribadi mereka tetap ada pada hati-hati manusia." (Adabud Dunyaa wad Diin, karya Al-Imam Abul Hasan Al-Mawardiy, hal.48)

(2) Dari 'Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu 'anhu bahwasanya beliau apabila melihat para pemuda giat mencari ilmu, beliau berkata: "Selamat datang wahai sumber-sumber hikmah dan para penerang kegelapan. Walaupun kalian telah usang pakaiannya akan tetapi hati-hati kalian tetap baru. Kalian tinggal di rumah-rumah (untuk mempelajari ilmu), kalian adalah kebanggaan setiap kabilah." (Jaami' Bayaanil 'Ilmi wa Fadhlih, karya Al-Imam Ibnu 'Abdil Barr, 1/52). Yakni bahwasanya sifat mereka secara umum adalah sibuk dengan mencari ilmu dan tinggal di rumah dalam rangka untuk mudzaakarah (mengulang pelajaran yang telah didapatkan) dan mempelajarinya. Semuanya ini menyibukkan mereka dari memperhatikan berbagai macam pakaian dan kemewahan dunia secara umum demikian juga hal-hal yang tidak bermanfaat atau yang kurang manfaatnya dan hanya membuang waktu belaka seperti berputar-putar di jalan-jalan (mengadakan perjalanan yang kurang bermanfaat atau sekedar jalan-jalan tanpa tujuan yang jelas) sebagaimana yang biasa dilakukan oleh selain mereka dari kalangan para pemuda.

(3) Dari Mu'adz bin Jabal radhiyallahu 'anhu, dia berkata: "Pelajarilah oleh kalian ilmu, karena sesungguhnya mempelajarinya karena Allah adalah khasy-yah; mencarinya adalah ibadah; mempelajarinya dan mengulangnya adalah tasbiih; membahasnya adalah jihad; mengajarkannya kepada yang tidak mengetahuinya adalah shadaqah; memberikannya kepada keluarganya adalah pendekatan diri kepada Allah; karena ilmu itu menjelaskan perkara yang halal dan yang haram; menara jalan-jalannya ahlul jannah, dan ilmu itu sebagai penenang di saat was-was dan bimbang; yang menemani di saat berada di tempat yang asing; dan yang akan mengajak bicara di saat sendirian; sebagai dalil yang akan menunjuki kita di saat senang dengan bersyukur dan di saat tertimpa musibah dengan sabar; senjata untuk melawan musuh; dan yang akan menghiasainya di tengah-tengah sahabat-sahabatnya.
Dengan ilmu tersebut Allah akan mengangkat kaum-kaum lalu menjadikan mereka berada dalam kebaikan, sehingga mereka menjadi panutan dan para imam; jejak-jejak mereka akan diikuti; perbuatan-perbuatan mereka akan dicontoh serta semua pendapat akan kembali kepada pendapat mereka. Para malaikat merasa senang berada di perkumpulan mereka; dan akan mengusap mereka dengan sayap-sayapnya; setiap makhluk yang basah dan yang kering akan memintakan ampun untuk mereka, demikian juga ikan yang di laut sampai ikan yang terkecilnya, dan binatang buas yang di daratan dan binatang ternaknya (semuanya memintakan ampun kepada Allah untuk mereka). Karena sesungguhnya ilmu adalah yang akan menghidupkan hati dari kebodohan dan yang akan menerangi pandangan dari berbagai kegelapan. Dengan ilmu seorang hamba akan mencapai kedudukan-kedudukan yang terbaik dan derajat-derajat yang tinggi baik di dunia maupun di akhirat.
Memikirkan ilmu menyamai puasa; mempelajarinya menyamai shalat malam; dengan ilmu akan tersambunglah tali shilaturrahmi, dan akan diketahui perkara yang halal sehingga terhindar dari perkara yang haram. Ilmu adalah pemimpinnya amal sedangkan amal itu adalah pengikutnya, ilmu itu hanya akan diberikan kepada orang-orang yang berbahagia; sedangkan orang-orang yang celaka akan terhalang darinya."

(4)  Dari 'Umar Ibnul Khaththab radhiyallahu 'anhu, beliau berkata: "Sesungguhnya seseorang keluar dari rumahnya dalam keadaan dia mempunyai dosa-dosa seperti gunung Tihamah, akan tetapi apabila dia mendengar ilmu (yaitu mempelajari ilmu dengan menghadiri majelis ilmu), kemudian dia menjadi takut, kembali kepada Rabbnya dan bertaubat, maka dia pulang ke rumahnya dalam keadaan tidak mempunyai dosa. Oleh karena itu, janganlah kalian meninggalkan majelisnya para ulama." (Miftaah Daaris Sa'aadah, karya Al-Imam Ibnul Qayyim, 1/77)
Dan beliau juga berkata: "Wahai manusia, wajib atas kalian untuk berilmu (mempelajari dan mengamalkannya), karena sesungguhnya Allah Ta'ala mempunyai selendang yang Dia cintai. Maka barangsiapa yang mempelajari satu bab dari ilmu, Allah akan selendangkan dia dengan selendang-Nya. Apabila dia terjatuh pada suatu dosa hendaklah meminta ampun kepada-Nya, supaya Dia tidak melepaskan selendang-Nya tersebut sampai dia meninggal."

(5) Berkata Abud Darda` radhiyallahu 'anhu: "Sungguh aku mempelajari satu masalah dari ilmu lebih aku cintai daripada shalat malam."
Bukan berarti kita meninggalkan shalat malam, akan tetapi ini menunjukkan bahwa mempelajari ilmu itu sangat besar keutamaannya dan manfaatnya bagi ummat.

(6) Dari Al-Hasan Al-Bashriy rahimahullaah, beliau berkata: "Sungguh aku mempelajari satu bab dari ilmu lalu aku mengajarkannya kepada seorang muslim di jalan Allah (yaitu mempelajari dan mengajarkannya karena Allah semata) lebih aku cintai daripada aku mempunyai dunia seluruhnya." (Al-Majmuu' Syarh Al-Muhadzdzab, karya Al-Imam An-Nawawiy, 1/21)

(7) Dari Al-Imam Asy-Syafi'i rahimahullaah, beliau berkata: "Tidak ada sesuatupun yang lebih utama setelah kewajiban-kewajiban daripada menuntut ilmu."

Adapun bait-bait sya'ir yang menjelaskan tentang permasalahan ilmu dan kedudukannya itu sangat banyak dan tidak bisa dihitung, dan di sini hanya akan disebutkan dua di antaranya:
"Tidak ada kebanggaan kecuali bagi ahlul ilmi (orang-orang yang berilmu) karena sesungguhnya mereka berada di atas petunjuk bagi orang yang meminta dalil-dalilnya dan derajat setiap orang itu sesuai dengan kebaikannya (dalam masalah ilmu) sedangkan orang-orang yang bodoh adalah musuh bagi ahlul ilmi."

Dan sya'irnya Al-Imam Asy-Syafi'i:
"Belajarlah karena tidak ada seorangpun yang dilahirkan dalam keadaan berilmu, dan tidaklah orang yang berilmu seperti orang yang bodoh. Sesungguhnya suatu kaum yang besar tetapi tidak memiliki ilmu maka sebenarnya kaum itu adalah kecil apabila terluput darinya keagungan (ilmu). Dan sesungguhnya kaum yang kecil jika memiliki ilmu maka pada hakikatnya mereka adalah kaum yang besar apabila perkumpulan mereka selalu dengan ilmu."

Wallahu a’lam bisshawab.
Wassalamu ‘alaikum warahmatullah

Senin, 19 Maret 2012

Artikel Islam


HARAMNYA DURHAKA KEPADA KEDUA ORANG TUA
Oleh
Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas



Imam Bukhari meriwayatkan dalam Kitabul Adab dari jalan Abi Bakrah Radhiyallahu 'anhu, telah bersabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya : Sukakah saya beritahukan kepadamu sebesar-besar dosa yang paling besar, tiga kali (beliau ulangi). Sahabat berkata, 'Baiklah, ya Rasulullah', bersabda Nabi. "Menyekutukan Allah, dan durhaka kepada kedua orang tua, serta camkanlah, dan saksi palsu dan perkataan bohong". Maka Nabi selalu megulangi, "Dan persaksian palsu", sehingga kami berkata, "semoga Nabi diam" [Hadits Riwayat Bukhari 3/151-152 -Fathul Baari 5/261 No. 2654, dan Muslim 87]

Dari hadits di atas dapat diketahui bahwa dosa besar yang paling besar setelah syirik adalah uququl walidain (durhaka kepda kedua orang tua). Dalam riwayat lain Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda bahwa diantara dosa-dosa besar yaitu menyekutukan Allah, durhaka kepada kedua orang tua, membunuh diri, dan sumpah palsu [Riwayat Bukhari dalam Fathul Baari 11/555]. Kemudian diantara dosa-dosa besar yang paling besar adalah seorang melaknat kedua orang tuanya [Hadits Riwayat Imam Bukhari]

Dari Mughirah bin Syu'bah Radhiyallahu 'anhu bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Sesungguhnya Allah mengharamkan atas kamu, durhaka pada ibu dan menolak kewajiban, dan minta yang bukan haknya, dan membunuh anak hidup-hidup, dan Allah membenci padamu banyak bicara, dan banyak bertanya demikian pula memboroskan harta (menghamburkan kekayaan)" [Hadits Riwayat Bukhari (Fathul Baari 10/405 No. 5975) Muslim No. 1715 912)]

Hadits ini adalah salah satu hadits yang melarang seorang anak berbuat durhaka kepada kedua orang tuanya. Seorang anak yang berbuat durhaka berarti dia tidak masuk surga dengan sebab durhaka kepada kedua orang tuanya, sebagaimana Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Dari Abu Darda bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Tidak masuk surga anak yang durhaka, pe,imu, khamr (minuman keras) dan orang yang mendustakan qadar" [Hadits Riwayat Ahmad 6/441 dan di Hasankan oleh Al-Albani dalam Silsilah Hadits Shahihnya 675]

Diantara bentuk durhaka (uquq) adalah :

[1] Menimbulkan gangguan terhadap orang tua baik berupa perkataan (ucapan) ataupun perbuatan yang membuat orang tua sedih dan sakit hati.

[2] Berkata 'ah' dan tidak memenuhi panggilan orang tua.

[3] Membentak atau menghardik orang tua.

[4] Bakhil, tidak mengurusi orang tuanya bahkan lebih mementingkan yang lain dari pada mengurusi orang tuanya padahal orang tuanya sangat membutuhkan. Seandainya memberi nafkah pun, dilakukan dengan penuh perhitungan.

[5] Bermuka masam dan cemberut dihadapan orang tua, merendahkan orang tua, mengatakan bodoh, 'kolot' dan lain-lain.

[6] Menyuruh orang tua, misalnya menyapu, mencuci atau menyiapkan makanan. Pekerjaan tersebut sangat tidak pantas bagi orang tua, terutama jika mereka sudah tua atau lemah. Tetapi jika 'Si Ibu" melakukan pekerjaan tersebut dengan kemauannya sendiri maka tidak mengapa dan karena itu anak harus berterima kasih.

[7] Menyebut kejelekan orang tua di hadapan orang banyak atau mencemarkan nama baik orang tua.

[8] Memasukkan kemungkaran kedalam rumah misalnya alat musik, mengisap rokok, dll.

[9] Mendahulukan taat kepada istri dari pada orang tua. Bahkan ada sebagian orang dengan teganya mengusir ibunya demi menuruti kemauan istrinya. Na'udzubillah.

[10] Malu mengakui orang tuanya. Sebagian orang merasa malu dengan keberadaan orang tua dan tempat tinggalnya ketika status sosialnya meningkat. Tidak diragukan lagi, sikap semacam ini adalah sikap yang amat tercela, bahkan termasuk kedurhakaan yang keji dan nista.

Semuanya itu termasuk bentuk-bentuk kedurhakaan kepada kedua orang tua. Oleh karena itu kita harus berhati-hati dan membedakan dalam berkata dan berbuat kepada kedua orang tua dengan kepada orang lain.

Akibat dari durhaka kepada kedua orang tua akan dirasakan di dunia. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Adabul Mufrad, Abu Daud dan Tirmidzi dari sahabat Abi Bakrah dikatakan.

"Artinya : Dari Abi Bakrah Radhiyallahu 'anhu mengatakan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata, "Tidak ada dosa yang Allah cepatkan adzabnya kepada pelakunya di dunia ini dan Allah juga akan mengadzabnya di akhirat yang pertama adalah berlaku zhalim, kedua memutuskan silaturahmi" [Hadits Riwayat Bukhari dalam Adabul Mufrad (Shahih Adabul Mufrad No. 23), Abu Dawud (4902), Tirmidzi (2511), Ibnu Majah (4211). Ahmad 5/36 & 38, Hakim 2/356 & 4/162-163, Tirmidzi berkata, "Hadits Hasan Shahih", kata Al-Hakim, 'Shahih Sanadnya", Imam Dzahabi menyetujuinya]

Dalam hadits lain dikatakan.

"Artinya : Dua perbuatan dosa yang Allah cepatkan adzabnya (siksanya) di dunia yaitu berbuat zhalim dan al'uquq (durhaka kepdada orang tua)" [Hadits Riwayat Hakim 4/177 dari Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu] [1]

Keridlaan orang tua harus kita dahulukan dari pada keridlaan istri dan anak. Karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan anak yang durhaka akan diadzab di dunia dan di akhirat serta tidak akan masuk surga dan Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat.

Sedangkan dalam lafadz yang lain diriwayatkan oleh Imam Baihaqi, Hakim, Ahmad dan juga yang lainnya, dikatakan :

"Artinya : Dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu 'anhu berkata, 'Telah berkata Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, 'Ada tiga golongan yang tidak akan masuk surga dan Allah tidak akan melihat mereka pada hari kiamat yakni anak yang durhaka kepada kedua orang tuanya, perempuan yang menyerupai laki-laki dan kepala rumah tangga yang membiarkan adanya kejelekan (zina) dalam rumah tangganya" [Hadits Riwayat Hakim, Baihaqi, Ahmad 2/134]

Jadi, salah satu yang menyebabkan seseorang tidak masuk surga adalah durhaka kepada kedua orang tuanya.

Dapat kita lihat bahwa orang yang durhaka kepada orang tuanya hidupnya tidak berkah dan selalu mengalami berbagai macam kesulitan. Kalaupun orang tersebut kaya maka kekayaannya tidak akan menjadikannya bahagia.

Seandainya ada seorang anak yang durhaka kepada kedua orang tuanya kemudian kedua orang tuanya tersebut mendo'akan kejelekan, maka do'a kedua orang tua tersebut bisa dikabulkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sebab dalam hadits yang shahih Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, 'Telah berkata Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, 'Ada tiga do'a yang dikabulkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala -yang tidak diragukan tentang do'a ini-, yang pertama yaitu do'a kedua orang tua terhadap anaknya yang kedua do'a orang yang musafir -yang sedang dalam perjalanan-, yang ketiga do'a orang yang dizhalimi" [Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Adabaul Mufrad, Abu Dawud, dan Tirmidzi] [2]

Banyak sekali riwayat yang shahih yang menjelaskan tentang akibat buruk dari durhaka kepada orang tua di dunia maupun di akhirat. Ada juga kisah-kisah nyata tentang adzab (siksa) dari anak yang durhaka, dari kisah tersebut ada yang shahih ada juga yang dla'if (lemah). Diantara kisah yang dla'if yang sering dibawakan oleh para khatib (penceramah) yaitu kisah Al-Qamah yang durhaka kepada ibunya sampai mau dibakar oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam hingga ibunya mema'afkannya. Akan tetapi kisah ini dla'if dilemahkan oleh para ulama ahli hadits [3].

[Disalin dari Kitab Birrul Walidain, edisi Indonesia Berbakti Kepada Kedua Orang Tua oleh Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas, terbitan Darul Qolam - Jakarta]
_________
Foote Note.
[1] Hadits Riwayat Bukhari dalam tarikh dan Thabrani dalam Mu'jam Kabir dari Abu Bakrah. Diriwayatkan oleh Al-Hakim dalam Kitabnya Al-Mustadrak dari sahabat Anas. Lihat Silsilah Shahihah No. 1120 dan Shahih Jami'us Shagir No. 137 dan 2810.
[2] Hadits Riwayat Bukhari dalam Adabul Mufrad (Shahih Adabul Mufrad No. 24, 372), Abu Dawud 1536, Tirmidzi 1905, 3448, Ibnu Majah 3826, Ibnu Hibban 2406, At-Thayalishi 2517 dan Ahmad 2/258, 348, 478, 517, 523. Lihat Silsilah Hadits As-Shahihah No. 596
[3] Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Thabrani dan Ahmad dengan ringkas dalam sanadnya ada Fayid Abul Warqa' dia matruk (Majmuz Zawaaid 8/148), kata Ibnul Jauzi, "Hadits ini tidak shah dari Rasulullah karena dalam sanadnya ada Fayid Abu Warqa" Imam Ahmad berkata, "Ia matrukul hadits", Ibnu Hibban berkata, "Tidak boleh berhujjah dengannya". Kata Imam Abu Hatim, "Ia sering dusta" [Lihat Al-Maudluu'at, Ibnul Jauzi juz 3 hal 87]

Kisah Teladan

Kisah Seorang Pencuri Terong 

Di Damaskus, ada sebuah masjid besar, namanya masjid Jami' At-Taubah. Dia adalah sebuah masjid yang penuh keberkahan. Di dalamnya ada ketenangan dan keindahan. Sejak tujuh puluh tahun, di masjid itu ada seorang syaikh pendidik yang alim dan mengamalkan ilmunya. Dia sangat fakir sehingga menjadi contoh dalam kefakirannya, dalam menahan diri dari meminta, dalam kemuliaan jiwanya dan dalam berkhidmat untuk kepentingan orang lain.

Saat itu ada pemuda yang bertempat di sebuah kamar dalam masjid. Sudah dua hari berlalu tanpa ada makanan yang dapat dimakannya. Dia tidak mempunyai makanan ataupun uang untuk membeli makanan. Saat datang hari ketiga dia merasa bahwa dia akan mati, lalu dia berfikir tentang apa yang akan dilakukan. Menurutnya, saat ini dia telah sampai pada kondisi terpaksa yang membolehkannya memakan bangkai atau mencuri sekadar untuk bisa menegakkan tulang punggungnya. Itulah pendapatnya pada kondisi semacam ini.

Masjid tempat dia tinggal itu, atapnya bersambung dengan atap beberapa rumah yang ada disampingnya. Hal ini memungkinkan sesorang pindah dari rumah pertama sampai terakhir dengan berjalan di atas atap rumah-rumah tersebut. Maka, dia pun naik ke atas atap masjid dan dari situ dia pindah ke rumah sebelah. Di situ dia melihat orang-orang wanita, maka dia memalingkan pandangannya dan menjauh dari rumah itu. Lalu dia lihat rumah yang di sebelahnya lagi. Keadaannya sedang sepi dan dia mencium ada bau masakan berasal dari rumah itu. Rasa laparnya bangkit, seolah-olah bau masakan tersebut magnet yang menariknya.

Rumah-rumah di masa itu banyak dibangun dengan satu lantai, maka dia melompat dari atap ke dalam serambi. Dalam sekejap dia sudah berada di dalam rumah dan dengan cepat dia masuk ke dapur lalu mengangkat tutup panci yang ada di situ. Dilihatnya sebuah terong besar dan sudah dimasak. Lalu dia ambil satu, karena rasa laparnya dia tidak lagi merasakan panasnya, digigitlah terong yang ada ditangannya dan saat itu dia mengunyah dan hendak menelannya, dia ingat dan timbul lagi kesadaran beragamanya. Langsung dia berkata, 'A'udzu billah! Aku adalah penuntut ilmu dan tinggal di masjid , pantaskah aku masuk ke rumah orang dan mencuri barang yang ada di dalamnya?' Dia merasa bahwa ini adalah kesalahan besar, lalu dia menyesal dan beristigfar kepada Allah, kemudian mengembalikan lagi terong yang ada ditangannya. Akhirnya dia pulang kembali ke tempat semula. Lalu ia masuk ke dalam masjid dan mendengarkan syaikh yang saat itu sedang mengajar. Karena terlalu lapar dia tidak dapat memahami apa yang dia dengar.

Ketika majlis itu selesai dan orang-orang sudah pulang, datanglah seorang perempuan yang menutup tubuhnya dengan hijab, saat itu memang tidak ada perempuan kecuali dia memakai hijab, kemudian perempuan itu berbicara dengan syaikh. Sang pemuda tidak bisa mendengar apa yang sedang dibicarakannya. Akan tetapi, secara tiba-tiba syaikh itu melihat ke sekelilingnya. Tak tampak olehnya kecuali pemuda itu, dipanggilah ia dan syaikh itu bertanya, 'Apakah kamu sudah menikah?', dijawab, 'Belum,'. Syaikh itu bertanya lagi, 'Apakah kau ingin menikah?'. Pemuda itu diam. Syaikh mengulangi lagi pertanyaannya. Akhirnya pemuda itu angkat bicara, 'Ya Syaikh, demi Allah! Aku tidak punya uang untuk membeli roti, bagaimana aku akan menikah?'. Syaikh itu menjawab, 'Wanita ini datang membawa khabar, bahwa suaminya telah meninggal dan dia adalah orang asing di kota ini. Di sini bahkan di dunia ini dia tidak mempunyai siapa-siapa kecuali seorang paman yang sudah tua dan miskin', kata syaikh itu sambil menunjuk seorang laki-laki yang duduk di pojokkan. Syaikh itu melanjutkan pembicaraannya, 'Dan wanita ini telah mewarisi rumah suaminya dan hasil penghidupannya. Sekarang, dia ingin seorang laki-laki yang mau menikahinya, agar dia tidak sendirian dan mungkin diganggu orang. Maukah kau menikah dengannya? Pemuda itu menjawab 'Ya'. Kemudian Syaikh bertanya kepada wanita itu, 'Apakah engkau mau menerimanya sebagai suamimu?', ia menjawab 'Ya'. Maka Syaikh itu mendatangkan pamannya dan dua orang saksi kemudian melangsungkan akad nikah dan membayarkan mahar untuk muridnya itu. Kemudian syaikh itu berkata, 'peganglah tangan isterimu!' Dipeganglah tangan isterinya dan sang isteri membawanya ke rumahnya. Setelah keduanya masuk ke dalam rumah, sang isteri membuka kain yang menutupi wajahnya. Tampaklah oleh pemuda itu, bahwa dia adalah seorang wanita yang masih muda dan cantik. Rupanya pemuda itu sadar bahwa rumah itu adalah rumah yang tadi telah ia masuki.

Sang isteri bertanya, 'Kau ingin makan?' 'Ya' jawabnya. Lalu dia membuka tutup panci di dapurnya. Saat melihat buah terong di dalamnya dia berkata: 'heran siapa yang masuk ke rumah dan menggigit terong ini?!'. Maka pemuda itu menangis dan menceritakan kisahnya. Isterinya berkomentar, 'Ini adalah buah dari sifat amanah, kau jaga kehormatanmu dan kau tinggalkan terong yang haram itu, lalu Allah berikan rumah ini semuanya berikut pemiliknya dalam keadaan halal. Barang siapa yang meninggalkan sesuatu ikhlas karena Allah, maka akan Allah ganti dengan yang lebih baik dari itu.
(Sumber: Alsofwah.or.id) 

Minggu, 18 Maret 2012

Resensi Buku


KUTITIP SURAT INI UNTUKMU

Penulis    :   Al Ustadz Armen Halim N, Lc Rahimahullah
Judul       :   Kutitip Surat Ini Untukmu
Penerbit  :   Nadwah Publishing – Pekan Baru
 
Risalah kecil ini merupakan kumpulan dari tulisan yang ada tentang berbakti kepada orang tua, lalu penulis daur ulang dengan gaya bahasa penulis sendiri. Berbakti kepada orang tua adalah salah satu ibadah yang termulia disisi Allah ta’ala. Ketahuilah bahwa ridho-Nya Allah juga tergantung kepada ridho orang tua. Karenanya orang – orang sholih berlomba demi meraihnya, dan orang – orang beriman pun menghabiskan waktunya demi memperoleh keutamaannya. Sesungunya orang tua adalah pintu jannah yang ditengah, sekiranya engkau mau, sia – siakan pintu itu atau jagalah!
Ada sebuah kisah yang sangat menarik dan patuh kita teladani bersama, yakni: kisah anak adam yang bernama “Uwais al Qorni”, orang yang sangat berbakti kepada ibunya. Walaupun rosullullah shallallahu ‘alaihi wassalam tidak pernah bertemu langsung  dengan beliau, tapi panutan kita Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam memerintahkan kepada para sahabatnya agar memohon istighfar kepada Allah melalui Uwais al Qorni. Mengapa??? Karena Uwais al Qorni memiliki doa yang mustajab, berkat kesungguhannya dalam berbakti kepada ibunya.
Penyajian risalah ini dalam bentuk surat – menyurat antara seorang ibu dengan anaknya. Hal ini disengaja oleh penulis agar lebih mudah dipahami dan lebih melekat ke dalam hati. Karena ia ditulis dengan hati yang suci, semoga getarannya akan sampai juga ke hati yang suci pula, dan karena ia merupakan gambaran kecil dari kehidupan sehari – hari.
Risalah ini memaparkan tentang goresan tangan seorang ibu yang merasakan kepedihan dan kesedihan yang ditujukan untuk anaknya, dan surat balasan dari anak tersebut kepada bundanya.Risalah tersebut terdiri dua bab yakni: bab pertama Surat Ibu kepada Putranya, dan Bab kedua Surat Balasan untuk Ibu. Pada bab pertama memaparkan tentang curahan hati sang ibunya, mulai sejak  anaknya dalam kandungan sampai dia menikah. Setiap kali menulis, setiap itu pula goresan tulisan terhalangi oleh tangis, dan setiap kali menitikkan air mata setiap itu pula hatinya terluka. Kemudian di akhir surat bundanya menulis untaikan kalimat yang sangat indah dan patut kita pahami bersama yakni : “bagunlah nak. Uban sudah merambat dikepalamu, akan berlalu masa sehingga engkau menjadi tua, dan al jaza’ min jinsil ‘amal .... engkau akan memetik sesuai dengan apa yang engkau tanam. Selanjutnya ibunya berpesan: wahai anakku, bertaqwalah kepada Allah pada ibumu, peganglah kakinya! Sesunggunya surga di kakinya. Basuhlah air matanya, balurlah kesedihannya, kencangkan tulang ringkihnya, dan kokohkan badannya yang telah lapuk.
Bab kedua ini mencerikan isi surat balasan seorang anak kepada bundanya. Setelah dia menulis memuji – muji Allah dan memanjakan shalawat dan salam kepada rosulullah, keluraganya, dan para sahabatnya. Putranya memaparkan konsinya setelah menerima surat ibunya yang ditulis dengan airmata dan duka, dia mengejanya kata demi kata, tidak ada satu hurufpun yang terlewatkan. Disebutkan dalam suratnya, bahwa putranya membaca surat bundanya semenjak Isya’ dan baru selesai membacanya setelah ayam berkokok, fajar telah terbit dan azan telah dikumandangkan. Surat tersebut bagi putranya bagaikan  petir kemurkaan dan dia membacanya dengan airmata yang tak pernah berhenti. Kemudian putranya meminta maaf atas kealfaan dan kesalahanya. Dan diakhir suratnya dia berkata: “Ibu .... sesampainya suratku ini, insya allah, tidak akan ada lagi air mata yang jatuh karena ulah anakmu, setelah ini tidak ada lagi kejauhan antaraku dengan mu, kebahagianmu adalah kebahagianku, kesedihanmu adalah kesedihanku, tawamu adalah tawaku dan tangismu adalah tangisku. Aku berjanji untuk selalu berbakti kepadamu buat selamanya dan aku berharap aku dapat membahagiakanmu selagi mataku masih berkedip”.
Mudah – mudahan para pembaca dapat mengambil hikmah dari surat – menyurat tersebut. Sebenarnya isi surat dalam risalah tersebut masih panjang tetapi kami ambil sedikit ringkasan yang menurut kami itu penting. Dan mungkin ringkasan yang kami buat ini masih belum mencerminkan isinya secara keseluruhan, oleh karena itu kami harapkan para pembaca dapat mendapatkannya di toko – toko buku terdekat. Mohon maaf yang sebesar – besarnya jika ada kata yang kurang berkenan dan perlu diketahui bahwa kami TIDAK MENJUAL BUKU. Ini hanya sebuah wadah untuk berbagi sebuah informasi tentang buku – buku islam. Semoga bermanfaaat. Barakallahu Fiikum. (Admin FaresT)

Kisah Teladan


Abdullah bin Al-Mubarak

Abdullah bin Al-Mubarak, seorang tabiien yang sangat terkenal dengan sifat kedermawaannya. Meskipun beliau termasuk orang yang cukup mampu, namum beliu sangat mengerti bagaimana cara mepergunakan hartanya di jalan diridhoi oleh-Nya.

Beliau (Ibnul Mubarak) biasa pulang pergi ke Tharasusu dan biasanya saat di tengah perjalanan bila hari telah menjelang malam, beliau segera singgah beristirahat di sebuah penginapan. Di penginapan itu, ada seorang pelayan muda biasa mengurus kebutuhannya. Dan yang lebih menarik perhatian Ibnul Mubarak adalah bahwa pemuda itu ditengah pekerjaan melayani dirinya, juga sangat rajin belajar hadits dengannya. Semangat belajarnya sangat tinggi. Pekerjaanya sebagai pelayan tidak menghalangi untuk terus dan terus memepelajari hadits.

Hingga suatu hari, beliau kembali singgah ke penginapan itu, namum tidak mendapati pemuda tersebut. Saat itu beliu memang sangat tergesa-gesa untuk berperang bersama tentara muslimin, sehingga beliau tidak sempat menanyakan hal itu. Barulah setelah pulang dari peperangan dan kembali kepenginapan, beliau segera menanyakan perihal pemuda tersebut. Orang-orang memberitahukan padanya bahwa pemuda itu kini tengah ditahan karena terlibat hutang yang belum dibayarnya. Maka demi mendengar penjelasan itu, beliau segera bertanya, “Berapakah besar hutangnya, sampai ia tak mampu membayarnya ?”
“Sepuluh ribu dirham,” jawab mereka.
Kemudian beliupun segera menyelidiki dan mencari si pemilik hutang itu. Setelah mengetahui orangnya, beliau lantas menyuruh seseorang untuk memanggil orang tersebut pada malam harinya. Setelah orang itu tiba, Ibnul Mubarak langsung menghitung dan membayar seluruh hutang pemuda tersebut.
Namun segera beliau berpesan, agar pemilik hutang tidak menceritakan kejadian ini kepada siapapun selama beliau masih hidup. Dan orang itupun menyetujuinya. Dan akhirnya Ibnul Mubarak berkata, “Apabila pagi tiba, segera keluarkan pemuda itu dari tahanan.”
Pagi harinya, Abdullah bin Al-Mubarak pun segera bergegas pergi sebelum pemuda itu dibebaskan. Pemuda itu kembali ke penginapan. Orang-orang yang melihatnya langsung berkata, “Kemarin Abdullah bin Al-Mubarak ke sini dan menanyakan tentang dirimu, namun saat ini dia sudah pergi lagi.” Kini yakinlah pemuda itu, bahwa Abdullah bin Al-Muabrak yang telah membebaskan dirinya. Maka segera ia menyelusuri jejak abdullah dan berhasil menjumpai beliau kira-kira dua-tiga marhalah (sata marhalah kira-kira dua belas mil) jauhnya dari penginapan. Demikian Abdullah melihat pemuda itu, beliau lantas berkata, “Kemana saja engkau anak muda ? Kenapa aku tak pernah melihatmu lagi di penginapan ?”
Pemuda itu lantas menjawab, “Benar wahai Abu Abdirrahman (Ibnul Mubarak), saya memang baru saja ditahan karena terlilit hutang.”
“Lalu bagaimana engkau dibebaskan?” tanya Abdullah.
“Seseorang telah datang membayar seluruh hutangku, hingga aku bisa dibebaskan. Namun sampai saat ini aku tidak tahu, siapa orang yang telah menolongku,” ujar pemuda itu lagi. Ia berharap bila Abdullah mengakuinya, bahwa Abdullahlah orang yang telah membebaskan dirinya.
Namun beliau justru berkata, “Wahai pemuda, bersyukurlah engaku kepada Allah yang telah memberikan taufik-Nya kepadamu, sehingga bisa terlepas dari hutang.”
Maka pemuda itupun kembali ke penginapan tanpa membawa jawaban dari semua rahasia pembebasan dirinya. Lelaki pemilik hutang itu pun tak pernah memberitahukan kepada siapapun sampai abdullah bin Al-Mubarak wafat.
Oleh : Ummu Nafi’
( Sumber : El Fata Edisi IV Th. I, hal : 35)